2012 merupakan tahun yang keramat bagi KPK dan Polri. Hubungan
dua lembaga penegak hukum itu kembali dipenuhi ketegangan. Istilah KPK
vs Polri atau Cicak vs Buaya jilid II pun muncul.
Kisruh antara
dua lembaga penegak hukum itu bermula saat KPK menggeledah Gedung
Korlantas Polri di Jl MT Haryono, Jakarta Selatan, untuk mencari barang
bukti kasus simulator SIM pada Mei 2012. Saat itu, KPK mengklaim bahwa
kasus dugaan korupsi proyek pengadaan simulator SIM yang diusutnya sejak Januari 2012 telah naik ke tingkat penyidikan.
Namun,
tim penyidik KPK tidak diperkenankan melakukan penggeledahan oleh
Polri, dengan alasan tak mengantongi izin Kapolri. Pintu gerbang Gedung
Korlantas Polri bahkan saat itu dikunci dan dijaga ketat agar petugas
KPK tak dapat keluar dan membawa dokumen dari Gedung Korlantas Polri.
Untuk meredam situasi, Ketua KPK Abraham Samad langsung menggelar pertemuan dengan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo
di Mabes Polri. Usai Abraham dan Jenderal Timur bertemu, petugas KPK
akhirnya menggeledah dan membawa sejumlah barang dan dokumen yang diduga
terkait dengan kasus simulator SIM.
Ketegangan tidak berhenti
sampai di situ. Saat barang bukti berhasil dibawa petugas KPK dan
tersimpan rapi di dalam kontainer di Basement gedung KPK, beberapa intel
dan provost utusan Polri kerap menjaga barang bukti tersebut.
Seakan
tak mau kecolongan, Polri kemudian secara tiba-tiba menetapkan lima
orang tersangka dalam kasus tersebut. Lima orang tersebut antara lain
Brigjen Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, Kompol Legimo, Direktur PT
Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto dan Direktur Utama PT Inovasi
Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Selang berapa hari,
KPK menyusul Polri mengumumkan penetapan empat orang tersangka, yakni
mantan Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo, mantan Wakorlatas Brigjen Pol
Didik Purnomo, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto
dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Polri
kemudian secara tiba-tiba menarik 20 penyidiknya yang bertugas di KPK.
Namun, enam dari penyidik tersebut memilih bertahan di KPK, salah
satunya adalah Kompol Novel Baswedan yang dikenal menjadi motor
penyidikan kasus simulator SIM.
Polri lantas mengungkit kasus
lama Kompol Novel saat masih bertugas di Bengkulu pada 2004 silam. Saat
itu sejumlah pihak menilai Polri mencari-cari kesalahan dengan
menetapkan Kompol Novel Baswedan sebagai tersangka atas kasus penembakan
hingga tewas pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu.
Keadaan
semakin memanas usai pemeriksaan perdana mantan Gubernur Akpol Irjen
Pol Djoko Susilo sebagai tersangka. Saat itu, Gedung KPK 'dikepung' oleh
puluhan personel polisi yang berasal dari Polda Bengkulu dan Polda
Metro Jaya.
Kedatangan personel Polda Bengkulu itu dalam rangka
menjemput Kompol Novel terkait kasus penembakan tersebut. Namun, mereka
gagal menjemput paksa Kompol Novel. Sebab, dukungan deras dari elemen
masyarakat terhadap KPK terus mengalir. Massa berbondong-bondong datang
ke Gedung KPK malam itu untuk mendukung KPK dan Kompol Novel.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya turun tangan setelah mendapat
desakan publik. Dalam jumpa persnya di Istana Negara pada 8 Oktober
2012, Presiden SBY menginstruksikan agar Polri menyerahkan penanganan
kasus simulator SIM kepada KPK sepenuhnya. Presiden juga meminta Polri
menghentikan kasus Kompol Novel.
Sementara, soal penyidik,
presiden meminta masa penugasan penyidik KPK yang tercantum dalam PP
diatur kembali. Namun, selang berapa lama Polri kembali menarik
penyidiknya di KPK. Akibatnya, komisi anti korupsi itu terancam lumpuh dalam memberantas korupsi di Tanah Air, karena mengalami krisis penyidik.
Polri
kembali menarik 13 personelnya yang bertugas di KPK, dengan alasan masa
tugasnya telah berakhir. Alhasil, jumlah penyidik KPK semakin
berkurang.
Penarikan penyidiknya secara berangsur-angsur mendesak
KPK untuk mengajukan draft revisi PP 63 Tahun 2005 tentang SDM Pegawai
KPK. Salah satu draft yang diajukan yakni perpanjangan masa tugas para
penyidik.
Draft PP itu kemudian diteken Presiden SBY dan menjadi
PP No 103 Tahun 2012. PP tersebut menjelaskan formasi masa tugas
penyidik KPK menjadi 4-4-2. Namun, terdapat Pasal 5 ayat 9 yang membahas
soal alih status. Alih status ini mengatur para pegawai dari instansi
lain yang bekerja di KPK ingin menjadi pegawai tetap, harus izin dari
instansi asal.
KPK kaget karena sebelumnya tidak ada koordinasi
terlebih dahulu kepada pihaknya. Sebab, sebelum mengajukan revisi
dilakukan diskusi antara KPK, Kemen PAN, Polri dan Kejaksaan.
Sementara,
dalam kasus simulator SIM KPK akhirnya menahan Irjen Pol Djoko Susilo
setelah diperiksa berjam-jam lamanya pada Senin (8/10). Djoko langsung
dijebloskan ke Rutan KPK yang berada di lingkungan Rutan Militer Guntur.
Menanggapi
penahanan tersebut, Mabes Polri mengaku akan tetap memberi bantuan
hukum. Bantuan hukum itu akan diberikan melalui Divisi Hukum Polri.
Polri juga mengaku tidak akan mengintervensi lagi terkait kasus ini.
Termasuk menghormati penahanan mantan Kakorlantas tersebut di Rutan
Guntur.
Kasus simulator SIM diduga memiliki kaitan dengan kasus
lainnya. Salah satunya kasus dugaan korupsi pelat kendaraan bermotor.
Namun, kewenangan pengusutan kasus dugaan korupsi pelat kendaraan
bermotor ini berada di Polri karena telah mengeluarkan Surat Perintah
Dimulainya Penyidikan (SPDP).
2012 merupakan tahun yang keramat bagi KPK dan Polri. Hubungan
dua lembaga penegak hukum itu kembali dipenuhi ketegangan. Istilah KPK
vs Polri atau Cicak vs Buaya jilid II pun muncul.
Kisruh antara
dua lembaga penegak hukum itu bermula saat KPK menggeledah Gedung
Korlantas Polri di Jl MT Haryono, Jakarta Selatan, untuk mencari barang
bukti kasus simulator SIM pada Mei 2012. Saat itu, KPK mengklaim bahwa
kasus dugaan korupsi proyek pengadaan simulator SIM yang diusutnya sejak Januari 2012 telah naik ke tingkat penyidikan.
Namun,
tim penyidik KPK tidak diperkenankan melakukan penggeledahan oleh
Polri, dengan alasan tak mengantongi izin Kapolri. Pintu gerbang Gedung
Korlantas Polri bahkan saat itu dikunci dan dijaga ketat agar petugas
KPK tak dapat keluar dan membawa dokumen dari Gedung Korlantas Polri.
Untuk meredam situasi, Ketua KPK Abraham Samad langsung menggelar pertemuan dengan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo
di Mabes Polri. Usai Abraham dan Jenderal Timur bertemu, petugas KPK
akhirnya menggeledah dan membawa sejumlah barang dan dokumen yang diduga
terkait dengan kasus simulator SIM.
Ketegangan tidak berhenti
sampai di situ. Saat barang bukti berhasil dibawa petugas KPK dan
tersimpan rapi di dalam kontainer di Basement gedung KPK, beberapa intel
dan provost utusan Polri kerap menjaga barang bukti tersebut.
Seakan
tak mau kecolongan, Polri kemudian secara tiba-tiba menetapkan lima
orang tersangka dalam kasus tersebut. Lima orang tersebut antara lain
Brigjen Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, Kompol Legimo, Direktur PT
Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto dan Direktur Utama PT Inovasi
Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Selang berapa hari,
KPK menyusul Polri mengumumkan penetapan empat orang tersangka, yakni
mantan Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo, mantan Wakorlatas Brigjen Pol
Didik Purnomo, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto
dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Polri
kemudian secara tiba-tiba menarik 20 penyidiknya yang bertugas di KPK.
Namun, enam dari penyidik tersebut memilih bertahan di KPK, salah
satunya adalah Kompol Novel Baswedan yang dikenal menjadi motor
penyidikan kasus simulator SIM.
Polri lantas mengungkit kasus
lama Kompol Novel saat masih bertugas di Bengkulu pada 2004 silam. Saat
itu sejumlah pihak menilai Polri mencari-cari kesalahan dengan
menetapkan Kompol Novel Baswedan sebagai tersangka atas kasus penembakan
hingga tewas pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu.
Keadaan
semakin memanas usai pemeriksaan perdana mantan Gubernur Akpol Irjen
Pol Djoko Susilo sebagai tersangka. Saat itu, Gedung KPK 'dikepung' oleh
puluhan personel polisi yang berasal dari Polda Bengkulu dan Polda
Metro Jaya.
Kedatangan personel Polda Bengkulu itu dalam rangka
menjemput Kompol Novel terkait kasus penembakan tersebut. Namun, mereka
gagal menjemput paksa Kompol Novel. Sebab, dukungan deras dari elemen
masyarakat terhadap KPK terus mengalir. Massa berbondong-bondong datang
ke Gedung KPK malam itu untuk mendukung KPK dan Kompol Novel.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya turun tangan setelah mendapat
desakan publik. Dalam jumpa persnya di Istana Negara pada 8 Oktober
2012, Presiden SBY menginstruksikan agar Polri menyerahkan penanganan
kasus simulator SIM kepada KPK sepenuhnya. Presiden juga meminta Polri
menghentikan kasus Kompol Novel.
Sementara, soal penyidik,
presiden meminta masa penugasan penyidik KPK yang tercantum dalam PP
diatur kembali. Namun, selang berapa lama Polri kembali menarik
penyidiknya di KPK. Akibatnya, komisi anti korupsi itu terancam lumpuh dalam memberantas korupsi di Tanah Air, karena mengalami krisis penyidik.
Polri
kembali menarik 13 personelnya yang bertugas di KPK, dengan alasan masa
tugasnya telah berakhir. Alhasil, jumlah penyidik KPK semakin
berkurang.
Penarikan penyidiknya secara berangsur-angsur mendesak
KPK untuk mengajukan draft revisi PP 63 Tahun 2005 tentang SDM Pegawai
KPK. Salah satu draft yang diajukan yakni perpanjangan masa tugas para
penyidik.
Draft PP itu kemudian diteken Presiden SBY dan menjadi
PP No 103 Tahun 2012. PP tersebut menjelaskan formasi masa tugas
penyidik KPK menjadi 4-4-2. Namun, terdapat Pasal 5 ayat 9 yang membahas
soal alih status. Alih status ini mengatur para pegawai dari instansi
lain yang bekerja di KPK ingin menjadi pegawai tetap, harus izin dari
instansi asal.
KPK kaget karena sebelumnya tidak ada koordinasi
terlebih dahulu kepada pihaknya. Sebab, sebelum mengajukan revisi
dilakukan diskusi antara KPK, Kemen PAN, Polri dan Kejaksaan.
Sementara,
dalam kasus simulator SIM KPK akhirnya menahan Irjen Pol Djoko Susilo
setelah diperiksa berjam-jam lamanya pada Senin (8/10). Djoko langsung
dijebloskan ke Rutan KPK yang berada di lingkungan Rutan Militer Guntur.
Menanggapi
penahanan tersebut, Mabes Polri mengaku akan tetap memberi bantuan
hukum. Bantuan hukum itu akan diberikan melalui Divisi Hukum Polri.
Polri juga mengaku tidak akan mengintervensi lagi terkait kasus ini.
Termasuk menghormati penahanan mantan Kakorlantas tersebut di Rutan
Guntur.
Kasus simulator SIM diduga memiliki kaitan dengan kasus
lainnya. Salah satunya kasus dugaan korupsi pelat kendaraan bermotor.
Namun, kewenangan pengusutan kasus dugaan korupsi pelat kendaraan
bermotor ini berada di Polri karena telah mengeluarkan Surat Perintah
Dimulainya Penyidikan (SPDP).
2012 merupakan tahun yang keramat bagi KPK dan Polri. Hubungan
dua lembaga penegak hukum itu kembali dipenuhi ketegangan. Istilah KPK
vs Polri atau Cicak vs Buaya jilid II pun muncul.
Kisruh antara
dua lembaga penegak hukum itu bermula saat KPK menggeledah Gedung
Korlantas Polri di Jl MT Haryono, Jakarta Selatan, untuk mencari barang
bukti kasus simulator SIM pada Mei 2012. Saat itu, KPK mengklaim bahwa
kasus dugaan korupsi proyek pengadaan simulator SIM yang diusutnya sejak Januari 2012 telah naik ke tingkat penyidikan.
Namun,
tim penyidik KPK tidak diperkenankan melakukan penggeledahan oleh
Polri, dengan alasan tak mengantongi izin Kapolri. Pintu gerbang Gedung
Korlantas Polri bahkan saat itu dikunci dan dijaga ketat agar petugas
KPK tak dapat keluar dan membawa dokumen dari Gedung Korlantas Polri.
Untuk meredam situasi, Ketua KPK Abraham Samad langsung menggelar pertemuan dengan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo
di Mabes Polri. Usai Abraham dan Jenderal Timur bertemu, petugas KPK
akhirnya menggeledah dan membawa sejumlah barang dan dokumen yang diduga
terkait dengan kasus simulator SIM.
Ketegangan tidak berhenti
sampai di situ. Saat barang bukti berhasil dibawa petugas KPK dan
tersimpan rapi di dalam kontainer di Basement gedung KPK, beberapa intel
dan provost utusan Polri kerap menjaga barang bukti tersebut.
Seakan
tak mau kecolongan, Polri kemudian secara tiba-tiba menetapkan lima
orang tersangka dalam kasus tersebut. Lima orang tersebut antara lain
Brigjen Didik Purnomo, AKBP Teddy Rusmawan, Kompol Legimo, Direktur PT
Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto dan Direktur Utama PT Inovasi
Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Selang berapa hari,
KPK menyusul Polri mengumumkan penetapan empat orang tersangka, yakni
mantan Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo, mantan Wakorlatas Brigjen Pol
Didik Purnomo, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto
dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Polri
kemudian secara tiba-tiba menarik 20 penyidiknya yang bertugas di KPK.
Namun, enam dari penyidik tersebut memilih bertahan di KPK, salah
satunya adalah Kompol Novel Baswedan yang dikenal menjadi motor
penyidikan kasus simulator SIM.
Polri lantas mengungkit kasus
lama Kompol Novel saat masih bertugas di Bengkulu pada 2004 silam. Saat
itu sejumlah pihak menilai Polri mencari-cari kesalahan dengan
menetapkan Kompol Novel Baswedan sebagai tersangka atas kasus penembakan
hingga tewas pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu.
Keadaan
semakin memanas usai pemeriksaan perdana mantan Gubernur Akpol Irjen
Pol Djoko Susilo sebagai tersangka. Saat itu, Gedung KPK 'dikepung' oleh
puluhan personel polisi yang berasal dari Polda Bengkulu dan Polda
Metro Jaya.
Kedatangan personel Polda Bengkulu itu dalam rangka
menjemput Kompol Novel terkait kasus penembakan tersebut. Namun, mereka
gagal menjemput paksa Kompol Novel. Sebab, dukungan deras dari elemen
masyarakat terhadap KPK terus mengalir. Massa berbondong-bondong datang
ke Gedung KPK malam itu untuk mendukung KPK dan Kompol Novel.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya turun tangan setelah mendapat
desakan publik. Dalam jumpa persnya di Istana Negara pada 8 Oktober
2012, Presiden SBY menginstruksikan agar Polri menyerahkan penanganan
kasus simulator SIM kepada KPK sepenuhnya. Presiden juga meminta Polri
menghentikan kasus Kompol Novel.
Sementara, soal penyidik,
presiden meminta masa penugasan penyidik KPK yang tercantum dalam PP
diatur kembali. Namun, selang berapa lama Polri kembali menarik
penyidiknya di KPK. Akibatnya, komisi anti korupsi itu terancam lumpuh dalam memberantas korupsi di Tanah Air, karena mengalami krisis penyidik.
Polri
kembali menarik 13 personelnya yang bertugas di KPK, dengan alasan masa
tugasnya telah berakhir. Alhasil, jumlah penyidik KPK semakin
berkurang.
Penarikan penyidiknya secara berangsur-angsur mendesak
KPK untuk mengajukan draft revisi PP 63 Tahun 2005 tentang SDM Pegawai
KPK. Salah satu draft yang diajukan yakni perpanjangan masa tugas para
penyidik.
Draft PP itu kemudian diteken Presiden SBY dan menjadi
PP No 103 Tahun 2012. PP tersebut menjelaskan formasi masa tugas
penyidik KPK menjadi 4-4-2. Namun, terdapat Pasal 5 ayat 9 yang membahas
soal alih status. Alih status ini mengatur para pegawai dari instansi
lain yang bekerja di KPK ingin menjadi pegawai tetap, harus izin dari
instansi asal.
KPK kaget karena sebelumnya tidak ada koordinasi
terlebih dahulu kepada pihaknya. Sebab, sebelum mengajukan revisi
dilakukan diskusi antara KPK, Kemen PAN, Polri dan Kejaksaan.
Sementara,
dalam kasus simulator SIM KPK akhirnya menahan Irjen Pol Djoko Susilo
setelah diperiksa berjam-jam lamanya pada Senin (8/10). Djoko langsung
dijebloskan ke Rutan KPK yang berada di lingkungan Rutan Militer Guntur.
Menanggapi
penahanan tersebut, Mabes Polri mengaku akan tetap memberi bantuan
hukum. Bantuan hukum itu akan diberikan melalui Divisi Hukum Polri.
Polri juga mengaku tidak akan mengintervensi lagi terkait kasus ini.
Termasuk menghormati penahanan mantan Kakorlantas tersebut di Rutan
Guntur.
Kasus simulator SIM diduga memiliki kaitan dengan kasus
lainnya. Salah satunya kasus dugaan korupsi pelat kendaraan bermotor.
Namun, kewenangan pengusutan kasus dugaan korupsi pelat kendaraan
bermotor ini berada di Polri karena telah mengeluarkan Surat Perintah
Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan.