Halaman

Jumat, 03 Mei 2013

4. Manusia Dan Keadilan

  • Contoh Kasus

Babak Baru Islam Amerika

Rusdianto - detikNews
dok detikcom
Jakarta - Katakan sesungguhnya, apapun yang kalian perbuat adalah keadilan bagi semua orang. Begitulah pandangan dunia sebagai subjek kebijakan Amerika Serikat semasa Presiden George Walker Bush dan Barack Obama. Namun tidak bagi para predator yang menyebut dirinya teroris.

Opini dan pendapat mereka, justru AS yang selama ini menjadi pemicu penyebaran terorisme di seluruh seantaro dunia. Berawal dari spekulasi kebijakan Bush pasca tragedi 11 September 2001 yang menuduh Irak sebagai pusat terorisme dan memiliki senjata pemusnah massal. Isu itu pun ilusi, terbukti dalam perjalanan waktu bahwa AS tidak bisa buktikan sama sekali tuduhan mereka. Hingga akhirnya rezim Saddah Husein hancur dan di hukum mati. Legenda 9/11 berkontemplasi di tengah harapan perdamaian penuh kecemasan karena hubungan antara Islam dan Kristen sebagai new symbol dalam tahapan berfikir para penganut agama dan kekuasaan saat itu kian renggang.


Menurut Sumiati Anastasia (Jawa Pos, 17/4), pasalnya AS di bawah komando Bush menganggap Osama Bin Laden pertama kali berbasis di Irak sebagai komponen gerakan radikal yang mewakili Islam. Osama juga berbalik menuduh Bush dan bangsa Amerika sebagai crusader yang mewakili kekristenan. Padahal, jujur, melihat akan persoalan terorisme dan fenomena radikalisasi di belahan dunia, itu jelas tidak lepas dari kebijakan invasi Afganistan dan Irak pasca tragedi 9/11 itu.

Bagi tokoh agama kita seperti KH H Hasyim Muzadi dan delegasi lintas agama notabene menolak perang, melawat ke Vatikan Roma, berdialog agar dapat menghentikan rencana agresi militer AS ke Afganistan dan Iran. Mendiang Paulus Yohannes II mengatakan kepada para tokoh agama di dunia “perang merupakan kekalahan terbesar bagi kemanusiaan dan sekaligus bagi agama-agama” (The Jakarta Post 21 Februari 20013).

Paus sebagai juru damai juga mengingatkan kepada Bush bahwa perang itu akan jadi preseden buruk bagi masa depan dunia terutama Islam dan Kristen. Bush, menurut istilah George Soros dalam 'Buble of American Supremacy', telah membajak tragedi 9/11 untuk mengagresi Irak. Padahal tak ada bukti dan kaitan Al Qaeda dan rezim Saddam Husein.

Toh, Bush tetap menyetir mesin perang AS, melakukan agresi, war to terrorism sembari mengajak Inggris sebagai sekutu setia dalam memburu kelompok Islam radikal di mana pun berada. Sampai berlanjut pada masa presiden Obama awal tahun 2012 lalu yang berhasil menembak mati Osama bin Laden dalam penyerangan di Islamabad, Pakistan. Namun bagi dunia muslim bersama agama lain, rasa was-was kembali menyesakkan dada, kendati program deradikalisasi AS ke berbagai negara dan kerjasama membentuk satuan pemburu teroris di setiap negara (Indonesia disebut Densus 88) merangsang kembali tumbuh kelompok radikal yang suatu saat mengancam dunia dan Amerika Serikat sendiri.

Buktinya, di sepanjang negara Timur Tengah tiada hari tanpa bom bunuh diri berkekuatan besar seperti Iraq, Afganistan, Arab Saudi, dan Libya. Peran Amerika Serikat dalam perang Irak dan Afganistan disebut sebagai motif pelaku peledakan di Maraton Boston pekan lalu. Fakta ini merupakan hasil pemeriksaan awal terhadap tersangka Dzhokhar Tsarnaev. (kompas.com, 24/04/2013)

Begitu pun di Indonesia sederet legenda dan sejarah pengeboman oleh kelompok radikal Islam dengan memusatkan sasaran pada kepemilikan Amerika dan Australia, seperti bom Bali I dan II, bom Hotel Ritz Carlton, bom Hotel Marriot, bom Gereja Solo, bom Masjid Polres Cirebon, dan bom Buku Jakarta. Belum lagi bom-bom yang tidak teridentifikasi tempatnya oleh Densus 88. Prediksi bom yang menyebar di Indonesia adalah desain ideologi kapitalis dan pembajak negara berkembang sebagai isu utama dalam menguasai dan mengontrol suatu negara tertentu.

Tersandera War Terrorism

Di tengah menggeliat kampanye Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal dan memunculkan hukuman mati bagi para pelaku terorisme sebagai pelanggaran HAM berat yang mengakibatkan nyawa melayang dan cacat seumur hidup. Di saat itu pula kelompok Islam atau politik radikal lain menunjukkan militansi gerakan dengan merekrut generasi muda sebagai eksekutor dan pemimpin mereka dalam melancarkan agenda.

Prinsip kelompok radikal “mati satu tumbuh seribu”, jihad dengan ideologi pilihan lebih mulia karena ingin mendapat predikat mujahid dan sahid. Mereka berpendapat bahwa desainer terorisme seperti AS bersama sekutu hanyalah kepentingan untuk tetap menjadi negara adikuasa yang bisa mengontrol dan menghakimi negara berkembang.

Namun, tidak disangkal negara ketat seperti AS dengan predikat kedigdayaan, tiba-tiba menjadi tercoreng dan masa depan pun buram karena dikagetkan oleh bom meledak berkekuatan low explosive dan sangat dahsyat. Negara desainer antiteror itu, justru kembali meradang. Pasalnya bom Boston membuat dunia Amerika maupun Eropa khawatir akan ancaman teror bom yang sewaktu-waktu bisa mengancam mereka. Akan tetapi, tidak lama kemudian FBI bekerja investigatif dan berhasil menembak pelaku teror bom tersebut.

Ada hal berbeda dengan pelaku bom Boston Tamerlan Tsarnaev dan Dzokar Tsarnaev mereka berasal dari warga negara Amerika sendiri yang berkebangsaan Chechen. Sebagaimana di beritakan media antaranews.com (22/04/2013) yang berawal dari kakek neneknya dideportasi oleh polisi rahasia Stalin dalam kampanye pengusiran massal warga etnis Chechen pada Perang Dunia II. Orangtuanya pindah ke Amerika Serikat dari Dagestan demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kemudian mereka menjadi penganut Islam.

Selama ini pemerintah Amerika hanya tau bahwa yang sering melakukan peledakan bom kelompok atau bunuh diri adalah bangsa Arab maupun umat Islam. Pemerintah Amerika yang selama ini mewakili blok barat sendiri sering mengatakan “Muhammad sang Nabi itu mengajarkan kebaikan dengan pedang” dan lebih keras lagi Barat menjustifikasi Islam sebagai agama terorisme. Sungguh sangat menyedihkan bukan?

Padahal, terus terang saja kita katakan bahwa penyebaran ideologi kapitalisme dengan segala konsekuensi menyulut api militansi manusia melawan penindasan para kaum pemodal. Padahal semua agama merupakan entitas perdamaian dan keadilan, bukan Islam, juga bukan Kristen yang harus dimusuhi.

Kini terorisme bukan dari kelompok Islam radikal saja. Bahkan dari kelompok bangsa Amerika yang kecewa terhadap berbagai kebijakan politik ekonomi dunia yang banyak merugikan semua orang. Kita juga harus sebisa mungkin mengungkapkan motif di balik peristiwa Boston secara benar dan tepat.

Kalau dilihat dari dinamika politik dan ekonomi Amerika Serikat selalu terjadi ketegangan yang muncul ke permukaan. Terutama pada pemilihan presiden kemarin yang banyak menyisakan teka-teki atas kemenangan Obama. Bisa saja peristiwa Bom Boston ada kaitan erat dengan friksi Pemilu AS yang lalu.

Begitu juga kepada umat Islam agar tidak terprovokasi atas peristiwa pengeboman di daerah Boston tersebut. Kekhawatiran muncul kembali ketika pemerintahan Obama dan para sekutunya mencoba mengulangi isu yang sama dengan menuduh bangsa Arab dan negara Islam lain sebagai desainer pelaku Bom Boston yang terjadi beberapa waktu lalu.

Apalagi sekarang hubungan antara Iran dan Amerika Serikat merenggang disebabkan soal nuklir dan Amerika Serikat Cs dengan Korea Utara dalam hal nuklir juga. Friksi-friksi itu tentu pasti akan muncul new issue sebagai agitasi perang terhadap Iran dan Korea Utara demi menguasai dan menumbangkan rezim.

Semua hal ini bisa saja terjadi di luar kendali PBB dan OKI sebagai perwakilan berbagai negara di dunia. Namun negara-negara lain juga ikut berusaha mencegah isu religion rasis of Judaism yang selama ini didalangi AS dan Israel sehingga peristiwa Bom Boston tidak terulang kedua kali menuduh gerakan Islam radikal sebagai penyebab kerusakan. Dunia wajib mengingatkan bangsa Amerika dan sekutunya bahwa agenda program perang terhadap terorisme menumbuhkan kebencian dan menjijikkan yang sangat luas, sehingga Amerika sendiri tersandera war terorism.

Sungguh kekhawatiran yang sangat mendalam menyelimuti bangsa Amerika khawatir dan pemerintah AS sendiri sedang mengejar para buronan yang dianggap oleh mereka terorisme. Satu pelaku sudah tumbang yakni Tamerlan Tsarnaev (26). Pelaku peledakan bom Boston ini tewas setelah baku tembak dengan polisi di permukiman padat penduduk di daerah Watertown, Massachusetts Amerika Serikat pada Kamis malam.

Sementara Dzokhar berhasil melarikan diri awalnya, namun FBI dalam tahap pengejaran juga berhasil membekuk, sehingga Dzokar menyerah di balik perahu belakang rumah warga masyarakat setempat lalu di bawa ke Rumah Sakit Beth Israel, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat pada selasa (23/4/2013) waktu setempat.

Otoritas setempat pun menggarisbawahi bahwa ini masih tahap pemeriksaan awal, dan akun-akun elektronik Dzhokhar masih harus diperiksa lebih lanjut untuk memastikan adanya kontak dengan jejaring kelompok radikal. Kepada para penyidik, Dzhokar mengatakan, dia dan kakaknya, Tamerlan Tsarnaev, meradikalisasi diri berdasarkan "pengetahuan" dari internet.

Merujuk pengakuan Dzhokhar pula, penyidik tengah menelusuri benar atau tidaknya ada majalah online berbahasa Inggris Inspire yang disebut merupakan terbitan Al Qaeda. Dzhokhar mengaku belajar merakit peledak dari salah satu artikel majalah itu. (kompas.com, 24/04/2013) Kemudian, pekan depan dia akan disidang. Dzokhar terancam hukuman mati.

Bagi teroris militan sekali dan seterusnya adalah kewajiban untuk sahid. Maka siap-siaplah untuk lebih hati-hati bagi Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman yang suatu saat mengancam siapa saja. Mereka tidak pandang bulu menyasar warga AS dari tua-renta sampai anak-anak serta fasilitas kedutaan Amerika sendiri di berbagai negara di belahan dunia harus dijaga seketat mungkin.

Babak Baru Islam Amerika

Peristiwa Bom Boston itu merupakan babak baru setelah tragedi 9/11 yang membuat Amerika menekan pelatuk mesin perang dalam memberantas terorisme. Obama sendiri dalam berbagai kesempatan pidatonya mengatakan “terorisme perbuatan keji dan biadab”. Memang benar, namun siapa penyebab dari semua ini, tentu kita harus mengkaji ulang kembali.

Sehingga lebih enak mengurai suatu persoalan ketika menghadapi ancaman terorisme. Justru, lebih penting adalah merangkul seluruh tokoh Islam dan tokoh agama lain yang tergabung dalam lintas agama untuk menggelar deklarasi damai. Agar stigmatisasi yang muncul dapat teratasi dengan baik, tidak lagi ada friksi desain intelijen AS maupun tuduhan terhadap kelompok agama tertentu.

Hal ini babak baru bagi Islam Amerika karena per tahun perkembangan dakwah Islam di sana mencapai puluhan ribu memeluk dan meyakini Islam sebagai agamanya. Maka mau tidak mau pemerintah bersama tokoh Islam harus berbondong-bondong melindungi saudara kita yang tidak terlibat dalam segala peristiwa yang membuat sumuk (panas) situasi dan kondisi.

Pertimbangannya adalah syiar Islam yang sangat maju di Amerika Serikat harus dipelihara sedemikian rupa, mengingat bangsa Amerika, yang mayoritas Yahudi dan Kristen, maka saling menghargai harus dipakai sebagai slogan damai. Selain itu, Islam harus menjadi agama yang benar-benar bisa mempertahankan nilai-nilai perdamaian, sehingga dapat mengukur prestasi di antara paham lain. Hal inipun tergantung individu dan berbagai kelompok yang ada bahwa kondisi yang terjadi saat ini merupakan tantangan bagi Amerika Serikat memerangi terorisme dan kesukaran bagi Islam berkembang.

*)Rusdianto adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Muhammadiyah Madiun

Sumber : 
http://news.detik.com/read/2013/04/29/132337/2232934/103/babak-baru-islam-amerika

  • Pendapat :
       Menurut pendapat saya inilah “babak baru” hubungan Islam-Amerika. Berbeda dengan Bush yang terang-terangan bersikap keras pada umat Islam dan bahkan menyebut-nyebut ‘Perang Salib’ Obama kini melancarkan soft diplomacy, yaitu melakukan pendekatan kultural dan berupaya mengambil hati umat Islam. Namun, agenda besarnya masih sama: pembelaan penuh terhadap Israel tetap dilakukan dan perang melawan terorisme ala Bush akan terus berlanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan jika anda yang ingin komentar, namun tolong gunakan bahasa yang sopan.